Mendesak Negara Untuk Meminta Maaf Atas Kurangnya Perlindungan Bagi Pekerja Migran

Nama Kartika Puspasari menghebohkan di Hong Kong ketika pengadilan memenangkan kasus tersebut dan memberikan ganti rugi senilai Rp 1,67 miliar dari majikannya dalam kasus kekerasan dan eksploitasi pada Februari 2023.

Kartika telah mengalami eksploitasi, pelecehan, kekerasan, pemenjaraan, dan perlakuan brutal lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

Dia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Hong Kong selama lebih dari dua tahun, dari Juli 2010 hingga Oktober 2012.

Selain eksploitasi dan kekerasan, Kartika menderita karena jam kerja yang panjang, tidak ada gaji, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial, dan kondisi kerja dan hidup yang buruk.

Pekerja rumah tangga migran asal Cilacap, Jawa Tengah ini terpaksa pindah ke Hong Kong setelah sebelumnya bekerja di Singapura untuk menghidupi anak-anaknya pasca kematian suaminya.

“Selama tiga bulan pertama, majikan saya memperlakukan saya dengan baik, tetapi setelah saya pindah ke rumah baru, majikan saya mengubah sikapnya. Majikan membuang semua barang saya, termasuk pakaian, dokumen dari Indonesia, dan paspor saya. ,” kata Kartika dalam keterangannya Selasa (3 Juli 2023) digelar konferensi pers di Jakarta.

Kartika adalah pengasuh yang merawat tiga anak dan dua orang dewasa dalam keluarga Tai Chi-Wai dan Catherine Au Yuk-shan di Tai Po, Hong Kong.

Di musim panas dan musim dingin, Kartika dipaksa oleh majikannya untuk memakai kantong sampah sebagai pengganti pakaian.

Kartika juga diminta memakai popok setiap hari.

Tak jarang Kartika dipukul dengan tangan, sepatu, gantungan baju bahkan rantai sepeda.

Kisah Kartika bukanlah contoh pertama.

Pada 2014, Iroyana Sulistyaningsih asal Ngawi, Jawa Timur, mendapat perlakuan serupa saat bekerja di Hong Kong.

Iruyana, sekarang seorang aktivis Migrant Home, telah melaporkan beberapa perlakuan kasar, seperti pengabaian dan pemutusan hubungan dengan orang-orang yang membantu perjuangannya.

“Kasus Kartika adalah kasus yang mirip dengan yang saya alami. Artinya, belum ada upaya di dalam negeri untuk meningkatkan pencegahan dan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga migran. Sementara jika dibiarkan, kasus serupa akan terjadi. hanya masalah waktu saja.” jelas Eroyana.

Sementara itu, Eni Lestari, juru bicara Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI), menegaskan, pengulangan kasus ini menjadi pertanda gagalnya upaya perlindungan buruh migran di Tanah Air.

“Negara harus meminta maaf secara terbuka kepada Kartika dan pekerja rumah tangga migran lainnya dengan meningkatkan program kerja sama yang mengutamakan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan tenaga kerja,” jelasnya.

Eni menambahkan, minimnya informasi pada saat perekrutan sengaja dilakukan untuk menjadikan para TKI ini sebagai tenaga kerja murah.

“Indikatornya adalah belum adanya regulasi yang mengatur kepentingan PRT migran di tempat kerja (hak dan kewajibannya, bahasa dan budaya negara tujuan yang menjadi kunci keselamatan dan keamanan mereka),” jelasnya. ”